Jumat, 13 Juni 2014

SRATIFIKASI SOSIAL DIRUMAH SAKIT



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis). Barag siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Baik dari masyarakat maupun pemerintah. Tentunya masyarakat menginginkan bahwa mereka dapat merasakan  fasilitas kesehatan yang memadai, tidak ada perbedaan antara pelayanan bagi orang kaya maupun orang miskin. Disisi lain pemerintah akan berusaha memfasilitasi dengan baik. Namun pada faktanya dari dulu hingga sekarang dan hampir disemua rumah sakit terdapat diskriminasi pelayanan kesehatan. Hal itu terbukti dengan dokter yang akan melayani. Dokter umum akan melayani pendaftaran umum dengan harga yang minim pula, sedangkan dokter spesialis akan menangani pasien yang mendaftar ke bagian khusus dengan harga yang berkali lipat dari pendaftar umum. Hingga si miskin dilarang sakit, kalaupun iya, hanya mampu mendapat pelayanan seadanya dengan waktu antrean yang panjang dan  pemeriksaan yang sangat  singkat serta obat yang biasa saja.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Stratifikasi Sosial ?
2.      Bagaimana Proses Terjadinya Lapisan Masyarakat ?
3.      Apa Dasar Lapisan Masyarakat ?
4.      Bagaimana Pelayanan Kesehatan di Indonesia?





BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Stratifikasi Sosial

Pada zaman kuno dahulu, filsuf Aristoteles (Yunani) mengatakan didalam negara terdapat tiga unsure, yaitu mereka kaya sekali, melarat, da berada ditengah-tengahnya. Ucapan demikian paling tidak membuktikan bahwa dizaman itu dan sebelumnya, orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai bertingkat-tingkat dari bawah ke atas.
Kata Stratification berasal dari kata Stratum jamaknya Strata yang artinya Lapisan.
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis). Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Barag siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Diantara lapisan yang atasan dan yang rendah itu, ada lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan sendiri oleh masyarakat yang hendak mempelajari system lapisan masyarakat itu. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atasan tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat, teteapi kedudukanya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Mereka yang memiliki uang banyak akan mudah sekali mendapakatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan, sedangkan mereka yang mempunyai kekuasaan besar mudah menjadi kaya dan mengusahakan ilmu pengetahuan.
Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali lapisan-lapisan tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalistis, demokratis, komunistis, dan lain sebagainya. Lapisan masyarakat tadi ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama didalam suatu organisasi social.misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja.




2.      Proses Terjadinya Lapisan Masyarakat

Adanya system lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam prosen penrtumbuhan masyarakat itu. Akan tetapi, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batastertentu.
Secara teoretis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok social, halnya tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian system social setiap masyarakat.
Ada dua tipe system lapisan sosial, yaitu :
A.    Dapat terjadi dengan sendirinya.
B.     Sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama.

3.      Dasar Lapisan Sosial

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untu menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat kedalam suatu lapisan adalah sebagai berikut :
A.    Ukuran kekayaan
Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk ruma yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya,kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
B.     Ukuran kekuasaan
Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas.
C.     Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
D.    Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif  karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran,tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segal macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.
4.      Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi dalam pembangunan kesehatan.
Para pejabat negeri ini belum sepenuhnya memperhatikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan fisik mendominasi benak para pengambil kebijakan. Padahal, sudah banyak penelitian membuktikan bahwa warga negara yang sehat akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bersama yang lebih baik.
Sampai saat ini, untuk melayani kesehatan dasar pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki rakyat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Target mengurangi kematian bayi dan kematian ibu serta meningkatkan umur harapan hidup bisa terancam gagal jika pemerintah tidak bekerja lebih keras lagi untuk mencapai hasil maksimal.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, Menteri Kesehatan sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) atau kini diganti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini memberikan harapan bahwa akses untuk masyarakat bawah mulai terbuka.
Harus diakui dalam kasus Askeskin memang terjadi mismanajemen, pendataan yang kurang maksimal, klaim bermasalah, dan kekurangan lain, tapi bukan berarti tiada harapan. Sampai kini baru Sumatera Selatan yang mengadopsi kebijakan Jamkesmas dan beberapa rumah sakit yang ditunjuk Departemen Kesehatan.
Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Cakupan Jamkesmas harus diperluas lagi agar usia harapan hidup terus meningkat. Menteri Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib kesehatan kelas bawah.
Sistem kesehatan tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Dalam sistem ini, orang yang memiliki uang banyak bisa memperoleh layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan bisa diakses sesuai dengan tebal atau tipisnya kantong seorang pasien.
Warga yang miskin tidak mampu berobat, hanya menunggu keajaiban dari Tuhan atau menunggu ajal menjemput. Padahal, sakit bukan hanya menimpa orang-orang kelas menengah ke atas. Semua warga negara berpeluang sakit. Bahkan di kalangan orang miskin, potensi untuk sakit lebih besar karena asupan gizi yang buruk, akses informasi medis yang minim, gaya hidup buruk, dan kemampuan berobat yang rendah.
Lebih buruk lagi, penyakit orang miskin umumnya bertumpuk-tumpuk karena saat penyakit pertama belum sembuh datang penyakit kedua dan seterusnya. Pada saat yang bersamaan, beberapa rumah sakit milik pemerintah daerah dijadikan sebagai sumber pendapatan. Privatisasi rumah sakit ini telah mengancam orang-orang miskin ke sudut yang makin terpuruk.
Risikonya, rumah sakit tak ubahnya perusahaan komersial lain yang berorientasi keuntungan. Orang-orang miskin akan ditolak rumah sakit karena mereka miskin. Biaya pelayanan kesehatan selalu lebih mahal untuk ukuran ekonomi ratarata masyarakat. Apalagi sistem membayar uang tunai langsung membuat beban pasien dan keluarganya makin berat.
Padahal Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan:
1.      Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya.
2.      Ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama.

Kita bisa belajar dari negara-negara maju dalam menciptakan sistem kesehatan yang adil dan merata. Salah satu penyebab kemenangan Barack Obama di Amerika Serikat adalah rencana sistem kesehatan yang dia tawarkan lebih baik dari rivalnya, John McCain. Untuk rakyat miskin AS yang berjumlah 47 juta jiwa, Obama menyediakan asuransi model subsidi.
Anak-anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua penduduk dewasa juga harus mempunyainya. Bagi rakyat miskin, premi akan dibayar pemerintah yang dananya diperoleh dari anggaran pemerintah federal, negara bagian, iuran perusahaan, dan iuran dari kalangan mampu. Saat warga miskin jatuh sakit, dia memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengeluarkan uang.
Seandainya semua warga negara Indonesia mempunyai penghasilan yang sama besarnya, akses terhadap pelayanan kesehatan tidak ada masalah. Faktanya, kesenjangan pendapatan yang lebar telah membuat akses pelayanan berada dalam jurang ketidak adilan.
Tidak ada jalan lain kecuali Departemen Kesehatan segera memperbaiki sistem jaminan kesehatan yang lebih baik bagi rakyat miskin. Idealnya, semua warga negara tanpa pandang kelas ekonomi, jenis kelamin, dan geografis bisa mengakses pelayanan kesehatan dengan cukup.
Komisi Kesehatan dan Kependudukan di parlemen mestinya berteriak lebih keras supaya pemerintah menaikkan anggaran kesehatan. Keadilan pada hakikatnya milik semua manusia, tidak perduli kaya atau miskin dan tidak perduli seberapa tinggi strata sosialnya. Tidak perduli apapun jabatannya. Tidak perduli siapapun orang tuanya. Itulah makna dari prinsip dasar didunia yaitu persamaan di hadapan hukum, persamaan, tanpa perbedaan hukum bagi setiap manusia.
 Namun dalam kenyataannya teori seringkali tidak mewujud. Ada suatu ungkapan yaitu penegakan hukum yang ibarat sebilah pisau, “tajam ke bawah, tumpul ke atas.”  Keadilan hanya milik orang kaya, bukan orang miskin. Maka ibarat pelayanan kesehatan yang sering menghadirkan sindiran, “Orang miskin tidak boleh sakit”, maka dalam hal penegakan hukum, muncul pula ungkapan , “Orang miskin tidak boleh benar”.
 Warga kalangan bawah pun menjadi seolah ragu-ragu lagi untuk mendapatkan pengobatan yang layak di Rumah Sakit, bahkan mereka seolah-olah mencari alternatif pengobatan demi kesembuhan penyakitnya.

Perlu ada pelayanan kesehatan gratis bagi orang miskin. Sebagai contoh,  orang miskin tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil yaitu kasus penolakan warga miskin oleh rumah sakit sebagai berikut:
1)      15 Oktober 2011, Suryani (44), penderita kanker getah bening ditolak Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat. Alasannya, Suryani hanya memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
2)      22 November 2011, Nur Islamiyah, seorang warga miskin pengguna program Jaminan Persalinan (Jampersal), warga Desa Bakung, RT 03 RW 05, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar ditolak petugas Rumah Sakit Umum Mardi Waluyo, Blitar. Pihak rumah sakit beralasan tidak ada dokter jaga.
3)      16 Juli 2012, Andika Pratama, bocah berusia 1,5 tahun yang menderita tumor ganas pada bagian pangkal hidung ditolak rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Pihak RS Wahidin Sudirohusodo beralasan, kartu kepemilikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Andika berasal dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sedangkan RS Wahidin berada di Sulawesi Selatan.
4)      6 Agustus 2012, seorang ibu melahirkan di teras rumahnya karena dtolak oleh Rumah Sakit Umum Nagan Raya, Aceh. Alasannya, pihak rumah sakit tidak memiliki obat dan dokter. Akhirnya bayi tersebut meninggal karena tidak mendapat pertolongan medis. 
5)      10 November 2012,  Iwan Rudiawan (42 thn), warga Hang Lekir II, Gang Buntu RT.10/RW.06 kelurahan Gunung, Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bisa merawat, putrinya Dinda Anisa. Rumah sakit Fatmawati menolak merawat Dinda. Alasannya, Dinda tidak memenuhi kategori rawat inap, dan disarankan hanya berobat jalan. 
6)      7 Januari 2013, Afiyah putri Ratih Mustikowati, Warga Kelurahan Gadang, Kota Malang ditolak Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang. Awalnya, Afiyah lahir secara normal, pada 8 September 2012. Lantas, dua bulan kemudian kepala Afiyah membesar dan pandangan mata tak fokus. Setelah berobat di puskesmas, Afiyah didiagnosa menderita hydrocephalus, selanjutnya dirujuk ke RSSA Malang, dan ditolak.
7)      14 Januari 2013, Masanih (44), seorang ibu rumah tangga warga RT 03 RW 10 Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur yang menderita infeksi lambung ditolak oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo. Dirinya ditolak pihak rumah sakit dengan alasan ruang rawat pasien semua penuh, baik ruang kelas II maupun kelas III.
8)      19 Januari 2013, Ruslan, Bocah tanpa anus di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dua kali ditolak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Meski berbekal kartu Jamkesmas, pihak rumah sakit menolak dengan alasan alat medis yang rusak.
9)      Dan yang paling mengenaskan yang yaitu kasus Dera Nur Anggraini, bayi pasangan Eliyas Setya Nugroho dan Lisa Darawati sangat tragis. Bayi yang mengalami masalah pada kerongkongannya itu ditolak oleh 10 rumah sakit di Jakarta.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).
Ada dua tipe system lapisan sosial, yaitu :
1.      Dapat terjadi dengan sendirinya.
2.      Sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama.
Ukuran suatu lapisan social dapat dilihat dari :
1.      Ukuran kekayaan
2.      Ukuran kekuasaan
3.      Ukuran kehormatan
4.      Ukuran ilmu pengetahuan
Keadilan pada hakikatnya milik semua manusia, tidak perduli kaya atau miskin dan tidak perduli seberapa tinggi strata sosialnya. Tidak perduli apapun jabatannya. Tidak perduli siapapun orang tuanya. Itulah makna dari prinsip dasar didunia yaitu persamaan di hadapan hukum, persamaan, tanpa perbedaan hukum bagi setiap manusia.
B.     Saran
Kita sebagai calon pelayan kesehatan seharusnya melayani semua pasien dengan adil tanpa melihat dari status sosial mereka, karena semua pasien memiliki hak yang sama yaitu mendapatka pelayana kesehatan.






DAFTAR PUSTAKA

Agung, Raharjo.Buku Kantong Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Maryati, kun. 1999. Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Sorokin, Piritim A.Social and Cultural Mobility. London: The Free Press of Glencoe. 1959

Tidak ada komentar:

Posting Komentar