BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stratifikasi sosial menurut Pitirim
A. Sorokin adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan-lapisan
kelas secara bertingkat (hirarkis). Barag siapa yang memiliki sesuatu yang
berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam
lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang
berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Baik dari masyarakat maupun
pemerintah. Tentunya masyarakat menginginkan bahwa mereka dapat merasakan
fasilitas kesehatan yang memadai, tidak ada perbedaan antara pelayanan bagi
orang kaya maupun orang miskin. Disisi lain pemerintah akan berusaha
memfasilitasi dengan baik. Namun pada faktanya dari dulu hingga sekarang dan hampir
disemua rumah sakit terdapat diskriminasi pelayanan kesehatan. Hal itu terbukti
dengan dokter yang akan melayani. Dokter umum akan melayani pendaftaran umum
dengan harga yang minim pula, sedangkan dokter spesialis akan menangani pasien
yang mendaftar ke bagian khusus dengan harga yang berkali lipat dari pendaftar
umum. Hingga si miskin dilarang sakit, kalaupun iya, hanya mampu mendapat
pelayanan seadanya dengan waktu antrean yang panjang dan pemeriksaan yang
sangat singkat serta obat yang biasa saja.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Stratifikasi Sosial ?
2. Bagaimana
Proses Terjadinya Lapisan Masyarakat ?
3. Apa
Dasar Lapisan Masyarakat ?
4. Bagaimana
Pelayanan Kesehatan di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Stratifikasi Sosial
Pada zaman kuno dahulu, filsuf
Aristoteles (Yunani) mengatakan didalam negara terdapat tiga unsure, yaitu
mereka kaya sekali, melarat, da berada ditengah-tengahnya. Ucapan demikian
paling tidak membuktikan bahwa dizaman itu dan sebelumnya, orang telah mengakui
adanya lapisan masyarakat yang mempunyai bertingkat-tingkat dari bawah ke atas.
Kata Stratification berasal dari
kata Stratum jamaknya Strata yang artinya Lapisan.
Stratifikasi sosial menurut Pitirim
A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan
kelas secara bertingkat (hirarkis). Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang
berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam
masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup
teratur. Barag siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang
sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang
hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Diantara lapisan yang atasan dan
yang rendah itu, ada lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan sendiri oleh
masyarakat yang hendak mempelajari system lapisan masyarakat itu. Biasanya
golongan yang berada dalam lapisan atasan tidak hanya memiliki satu macam saja
dari apa yang dihargai oleh masyarakat, teteapi kedudukanya yang tinggi itu
bersifat kumulatif. Mereka yang memiliki uang banyak akan mudah sekali
mendapakatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan, sedangkan mereka
yang mempunyai kekuasaan besar mudah menjadi kaya dan mengusahakan ilmu
pengetahuan.
Bentuk-bentuk lapisan masyarakat
berbeda-beda dan banyak sekali lapisan-lapisan tetap ada, sekalipun dalam
masyarakat kapitalistis, demokratis, komunistis, dan lain sebagainya. Lapisan
masyarakat tadi ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama didalam
suatu organisasi social.misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf
kebudayaan masih bersahaja.
2. Proses
Terjadinya Lapisan Masyarakat
Adanya system lapisan masyarakat
dapat terjadi dengan sendirinya dalam prosen penrtumbuhan masyarakat itu. Akan
tetapi, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan
bersama. Alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya
adalah kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang
kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batastertentu.
Secara teoretis, semua manusia dapat
dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan hidup
kelompok-kelompok social, halnya tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan
merupakan gejala universal yang merupakan bagian system social setiap
masyarakat.
Ada dua tipe system lapisan sosial,
yaitu :
A. Dapat terjadi dengan sendirinya.
B. Sengaja disusun untuk mengejar
tujuan bersama.
3. Dasar
Lapisan Sosial
Ukuran
atau kriteria yang biasa dipakai untu menggolong-golongkan anggota-anggota
masyarakat kedalam suatu lapisan adalah sebagai berikut :
A. Ukuran
kekayaan
Barang siapa yang memiliki kekayaan
paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya,
dapat dilihat pada bentuk ruma yang bersangkutan, mobil pribadinya,
cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang
dipakainya,kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
B. Ukuran
kekuasaan
Barang siapa yang memiliki kekuasaan
atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas.
C. Ukuran
kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin
terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani
dan dihormati mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai
pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua
atau mereka yang pernah berjasa.
D. Ukuran
ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai
oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut
kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu
pengetahuan yang dijadikan ukuran,tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal
yang demikian memacu segal macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.
4. Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Pelayanan
kesehatan merupakan hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi dalam pembangunan
kesehatan.
Para
pejabat negeri ini belum sepenuhnya memperhatikan pelayanan kesehatan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan fisik mendominasi benak para pengambil
kebijakan. Padahal, sudah banyak penelitian membuktikan bahwa warga negara yang
sehat akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bersama
yang lebih baik.
Sampai
saat ini, untuk melayani kesehatan dasar pun belum tertangani semua. Ini
menandakan bahwa harapan untuk memiliki rakyat yang sehat dan berkualitas jauh
panggang dari api. Target mengurangi kematian bayi dan kematian ibu serta
meningkatkan umur harapan hidup bisa terancam gagal jika pemerintah tidak
bekerja lebih keras lagi untuk mencapai hasil maksimal.
Untuk
memecahkan persoalan tersebut, Menteri Kesehatan sudah mencoba sejumlah
terobosan. Di antaranya lewat kebijakan program Asuransi Kesehatan untuk
Masyarakat Miskin (Askeskin) atau kini diganti Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). Program ini memberikan harapan bahwa akses untuk masyarakat bawah
mulai terbuka.
Harus
diakui dalam kasus Askeskin memang terjadi mismanajemen, pendataan yang kurang
maksimal, klaim bermasalah, dan kekurangan lain, tapi bukan berarti tiada
harapan. Sampai kini baru Sumatera Selatan yang mengadopsi kebijakan Jamkesmas
dan beberapa rumah sakit yang ditunjuk Departemen Kesehatan.
Berobat
gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Cakupan
Jamkesmas harus diperluas lagi agar usia harapan hidup terus meningkat. Menteri
Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib
kesehatan kelas bawah.
Sistem
kesehatan tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Dalam sistem ini,
orang yang memiliki uang banyak bisa memperoleh layanan kesehatan. Pelayanan
kesehatan bisa diakses sesuai dengan tebal atau tipisnya kantong seorang
pasien.
Warga
yang miskin tidak mampu berobat, hanya menunggu keajaiban dari Tuhan atau
menunggu ajal menjemput. Padahal, sakit bukan hanya menimpa orang-orang kelas
menengah ke atas. Semua warga negara berpeluang sakit. Bahkan di kalangan orang
miskin, potensi untuk sakit lebih besar karena asupan gizi yang buruk, akses informasi
medis yang minim, gaya hidup buruk, dan kemampuan berobat yang rendah.
Lebih
buruk lagi, penyakit orang miskin umumnya bertumpuk-tumpuk karena saat penyakit
pertama belum sembuh datang penyakit kedua dan seterusnya. Pada saat yang
bersamaan, beberapa rumah sakit milik pemerintah daerah dijadikan sebagai
sumber pendapatan. Privatisasi rumah sakit ini telah mengancam orang-orang
miskin ke sudut yang makin terpuruk.
Risikonya,
rumah sakit tak ubahnya perusahaan komersial lain yang berorientasi keuntungan.
Orang-orang miskin akan ditolak rumah sakit karena mereka miskin. Biaya
pelayanan kesehatan selalu lebih mahal untuk ukuran ekonomi ratarata
masyarakat. Apalagi sistem membayar uang tunai langsung membuat beban pasien
dan keluarganya makin berat.
Padahal
Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan:
1. Setiap
orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan,
sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan,
serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh
pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan
merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya.
2. Ibu
dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang
dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan
sosial yang sama.
Kita
bisa belajar dari negara-negara maju dalam menciptakan sistem kesehatan yang adil
dan merata. Salah satu penyebab kemenangan Barack Obama di Amerika Serikat
adalah rencana sistem kesehatan yang dia tawarkan lebih baik dari rivalnya,
John McCain. Untuk rakyat miskin AS yang berjumlah 47 juta jiwa, Obama
menyediakan asuransi model subsidi.
Anak-anak
AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua penduduk dewasa juga harus
mempunyainya. Bagi rakyat miskin, premi akan dibayar pemerintah yang dananya
diperoleh dari anggaran pemerintah federal, negara bagian, iuran perusahaan,
dan iuran dari kalangan mampu. Saat warga miskin jatuh sakit, dia memperoleh
pelayanan kesehatan tanpa mengeluarkan uang.
Seandainya
semua warga negara Indonesia mempunyai penghasilan yang sama besarnya, akses
terhadap pelayanan kesehatan tidak ada masalah. Faktanya, kesenjangan
pendapatan yang lebar telah membuat akses pelayanan berada dalam jurang ketidak
adilan.
Tidak
ada jalan lain kecuali Departemen Kesehatan segera memperbaiki sistem jaminan
kesehatan yang lebih baik bagi rakyat miskin. Idealnya, semua warga negara
tanpa pandang kelas ekonomi, jenis kelamin, dan geografis bisa mengakses
pelayanan kesehatan dengan cukup.
Komisi
Kesehatan dan Kependudukan di parlemen mestinya berteriak lebih keras supaya
pemerintah menaikkan anggaran kesehatan. Keadilan pada hakikatnya milik semua
manusia, tidak perduli kaya atau miskin dan tidak perduli seberapa tinggi
strata sosialnya. Tidak perduli apapun jabatannya. Tidak perduli siapapun orang
tuanya. Itulah makna dari prinsip dasar didunia yaitu persamaan di hadapan
hukum, persamaan, tanpa perbedaan hukum bagi setiap manusia.
Namun dalam kenyataannya teori seringkali
tidak mewujud. Ada suatu ungkapan yaitu penegakan hukum yang ibarat sebilah
pisau, “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Keadilan hanya milik orang kaya,
bukan orang miskin. Maka ibarat pelayanan kesehatan yang sering menghadirkan
sindiran, “Orang miskin tidak boleh sakit”, maka dalam hal penegakan hukum,
muncul pula ungkapan , “Orang miskin tidak boleh benar”.
Warga kalangan bawah pun menjadi seolah
ragu-ragu lagi untuk mendapatkan pengobatan yang layak di Rumah Sakit, bahkan
mereka seolah-olah mencari alternatif pengobatan demi kesembuhan penyakitnya.
Perlu
ada pelayanan kesehatan gratis bagi orang miskin. Sebagai contoh, orang
miskin tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil yaitu kasus penolakan
warga miskin oleh rumah sakit sebagai berikut:
1) 15
Oktober 2011, Suryani (44), penderita kanker getah bening ditolak Rumah Sakit
Dharmais, Jakarta Barat. Alasannya, Suryani hanya memiliki Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM).
2) 22
November 2011, Nur Islamiyah, seorang warga miskin pengguna program Jaminan
Persalinan (Jampersal), warga Desa Bakung, RT 03 RW 05, Kecamatan Udanawu,
Kabupaten Blitar ditolak petugas Rumah Sakit Umum Mardi Waluyo, Blitar. Pihak
rumah sakit beralasan tidak ada dokter jaga.
3) 16
Juli 2012, Andika Pratama, bocah berusia 1,5 tahun yang menderita tumor ganas
pada bagian pangkal hidung ditolak rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Pihak RS
Wahidin Sudirohusodo beralasan, kartu kepemilikan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda) Andika berasal dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sedangkan RS Wahidin
berada di Sulawesi Selatan.
4) 6
Agustus 2012, seorang ibu melahirkan di teras rumahnya karena dtolak oleh Rumah
Sakit Umum Nagan Raya, Aceh. Alasannya, pihak rumah sakit tidak memiliki obat
dan dokter. Akhirnya bayi tersebut meninggal karena tidak mendapat pertolongan
medis.
5) 10
November 2012, Iwan Rudiawan (42 thn), warga Hang Lekir II, Gang Buntu RT.10/RW.06 kelurahan Gunung, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan tidak bisa merawat, putrinya Dinda Anisa. Rumah sakit Fatmawati
menolak merawat Dinda. Alasannya, Dinda tidak memenuhi kategori rawat inap, dan
disarankan hanya berobat jalan.
6) 7
Januari 2013, Afiyah putri Ratih Mustikowati, Warga Kelurahan Gadang, Kota
Malang ditolak Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang. Awalnya, Afiyah lahir
secara normal, pada 8 September 2012. Lantas, dua bulan kemudian kepala Afiyah
membesar dan pandangan mata tak fokus. Setelah berobat di puskesmas, Afiyah
didiagnosa menderita hydrocephalus, selanjutnya dirujuk ke RSSA Malang, dan
ditolak.
7) 14
Januari 2013, Masanih (44), seorang ibu rumah tangga warga RT 03 RW 10 Lubang
Buaya, Cipayung, Jakarta Timur yang menderita infeksi lambung ditolak oleh
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo. Dirinya ditolak pihak rumah sakit
dengan alasan ruang rawat pasien semua penuh, baik ruang kelas II maupun kelas
III.
8) 19
Januari 2013, Ruslan, Bocah tanpa anus di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dua
kali ditolak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Meski berbekal kartu Jamkesmas,
pihak rumah sakit menolak dengan alasan alat medis yang rusak.
9) Dan
yang paling mengenaskan yang yaitu kasus Dera Nur Anggraini, bayi pasangan
Eliyas Setya Nugroho dan Lisa Darawati sangat tragis. Bayi yang mengalami
masalah pada kerongkongannya itu ditolak oleh 10 rumah sakit di Jakarta.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Stratifikasi sosial menurut Pitirim
A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan
kelas secara bertingkat (hirarkis).
Ada dua tipe system lapisan sosial,
yaitu :
1. Dapat terjadi dengan sendirinya.
2. Sengaja disusun untuk mengejar
tujuan bersama.
Ukuran suatu lapisan social dapat
dilihat dari :
1. Ukuran kekayaan
2. Ukuran kekuasaan
3. Ukuran kehormatan
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Keadilan
pada hakikatnya milik semua manusia, tidak perduli kaya atau miskin dan tidak
perduli seberapa tinggi strata sosialnya. Tidak perduli apapun jabatannya.
Tidak perduli siapapun orang tuanya. Itulah makna dari prinsip dasar didunia
yaitu persamaan di hadapan hukum, persamaan, tanpa perbedaan hukum bagi setiap
manusia.
B. Saran
Kita
sebagai calon pelayan kesehatan seharusnya melayani semua pasien dengan adil
tanpa melihat dari status sosial mereka, karena semua pasien memiliki hak yang
sama yaitu mendapatka pelayana kesehatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agung, Raharjo.Buku Kantong Sosiologi.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Maryati, kun. 1999. Sosiologi Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Sorokin, Piritim A.Social
and Cultural Mobility. London: The Free Press of Glencoe. 1959
Tidak ada komentar:
Posting Komentar